Mengenal Hari Pasaran Jawa dan Asal-Usul Penanggalan Jawa β Sahabat Grameds, apakah kalian masih ingat tentang hari pasaran Jawa saat pelajaran di sekolah dasar? Ketika kami masih duduk di bangku sekolah dasar, dahulu ada pelajaran bahasa daerah yang memuat secara khusus mengenai bahasa dan budaya Jawa. Kami tidak tahu, apakah pada zaman serba milenial ini masih ada pelajaran tentang itu, terutama yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Pada era sekarang budaya bangsa banyak yang hilang dan tak dipelajari secara saksama, padahal budaya tersebut adalah salah satu harta dari nenek moyang atau leluhur kita yang patut dilestarikan. Nah, Sahabat Grameds artikel kali ini akan membahas secara khusus tentang budaya dalam masyarakat Jawa, yaitu tentang sistem penanggalan Jawa. Asal-Usul Penanggalan JawaSiklus Hari Pasaran dalam Penanggalan JawaSiklus Bulan dalam Penanggalan JawaSiklus Tahun dalam Penanggalan Jawa Wuku dan Neptu Implementasi Kalender Jawa Sultan Agung atau Susuhunan Agung. Sistem penanggalan ini awalnya digunakan secara resmi oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahan yang mendapat pengaruhnya. Saat itu, terdapat dua sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram, yaitu kalender Masehi dan kalender Jawa. Kalender Masehi digunakan agar urusan administrasi kerajaan dapat selaras dengan kegiatan sehari-hari masyarakat umum, sedangkan kalender Jawa digunakan sebagai patokan penyelenggaraan upacara-upacara adat kerajaan. Kalender Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung 1613β1645. Sultan Agung adalah raja ketiga dari Kesultanan Mataram. Saat itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India. Kalender Saka didasarkan dari pergerakan matahari solar, berbeda dengan kalender Hijriah atau kalender Islam yang didasarkan kepada pergerakan bulan lunar. Oleh karena itu, perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh kerajaan tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam. Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat diselenggarakan bersamaan. Untuk itulah, diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriah. Sistem penanggalan inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan. Kalender ini meneruskan tahun Saka, tetapi melepaskan sistem perhitungan yang lama dan menggantikannya dengan perhitungan berdasarkan pergerakan bulan. Dikarenakan pergantian tersebut tidak mengubah dan memutus perhitungan dari tatanan lama, pergeseran peradaban ini tidak mengakibatkan kekacauan, baik bagi masyarakat maupun bagi catatan sejarah. Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan beberapa sistem, yaitu sistem penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu, dan sedikit dari sistem penanggalan Julian yang merupakan dari bagian budaya Barat. Jadi, lahirnya sistem penanggalan Jawa merupakan kolaborasi dari penanggalan-penanggalan tersebut. Dekret Sultan Agung itu berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram, yaitu seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan Banyuwangi. Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini. Sistem penanggalan yang dipelopori oleh Sultan Agung ini juga disebut penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan mengitari bumi. Walaupun mengadopsi sistem penanggalan Hijriah, terdapat perbedaan hakiki antara sistem perhitungan penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriah. Perbedaan yang mendasar adalah pada saat penetapan pergantian hari ketika pergantian sasi bulan. Candrasangkala Jawa menetapkan bahwa pergantian hari ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap, yaitu pada saat matahari terbenam surup antara sedangkan pergantian hari ketika pergantian bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan melalui hilal dan rukyat. Siklus Hari Pasaran dalam Penanggalan Jawa Simbol siklus pasaran dalam kalender Jawa. Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, paΓ±cawara pancawara, sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Siklus yang masih dipakai sampai saat ini adalah saptawara siklus tujuh hari dan pancawara siklus lima hari, sedangkan yang lain masih dipakai di Pulau Bali dan di Tengger. Saptawara atau padinan terdiri atas tujuh hari dihubungkan dengan sistem bulan-bumi. Siklus tujuh hari ini bersamaan dengan siklus mingguan dalam kalender Masehi, yaitu Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Solah gerakan dari bulan terhadap bumi berikut adalah nama dari ketujuh nama hari tersebut. Radite β’ Ngahad, melambangkan meneng diam; Soma β’ Senen, melambangkan maju; Hanggara β’ Selasa, melambangkan mundur; Buda β’ Rebo, melambangkan mangiwa bergerak ke kiri; Respati β’ Kemis, melambangkan manengen bergerak ke kanan; Sukra β’ Jemuwah, melambangkan munggah naik ke atas; Tumpak β’ Setu, melambangkan tumurun bergerak turun. Adapun pancawara terdiri atas Kliwon Kasih, Legi Manis, Pahing Jenar, Pon Palguna, dan Wage Cemengan. Pancawara juga biasa disebut sebagai pasaran. Siklus ini dahulu digunakan oleh para pedagang untuk membuka pasar sesuai hari pasaran yang ada. Inilah yang menyebabkan sekarang banyak dikenal nama-nama pasar yang menggunakan nama pasaran tersebut, seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing, Pasar Pon, dan Pasar Wage. Hari-hari pasaran merupakan posisi patrap sikap dari bulan sebagai berikut. Kliwon β’ Kasih, melambangkan jumeneng berdiri; Legi β’ Manis, melambangkan mungkur berbalik arah ke belakang; Pahing β’ Jenar, melambangkan madep menghadap; Pon β’ Palguna, melambangkan sare tidur; Wage β’ Cemengan, melambangkan lenggah duduk. Selain pancawara dan saptawara, masih ada siklus enam hari yang disebut sadwara atau paringkelan. Walaupun terkadang masih digunakan dalam pencatatan waktu, paringkelan tidak digunakan dalam menghitung jatuhnya waktu upaca-upacara adat di keraton. Paringkelan terdiri atas Tungle, Aryang, Warungkung, Paningron, Uwas, dan Mawulu. Siklus Bulan dalam Penanggalan Jawa Seperti halnya dalam penanggalan lainnya, kalender Jawa juga memiliki 12 bulan. Bulan-bulan tersebut memiliki nama serapan dari bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa, yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Umur tiap bulan berselang-seling antara 30 dan 29 hari. Berikut disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriah dengan nama-nama Arab, tetapi beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta seperti Pasa, SΓ©la, dan kemungkinan juga Sura, sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra lunar. Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan Hijriah, seperti Pasa yang berkaitan dengan puasa Ramadan, Mulud yang berkaitan dengan Maulid Nabi pada bulan Rabiulawal, dan Ruwah yang berkaitan dengan Nisfu Syaβban saat amalan dari roh selama setahun dianggap dicatat. No Penanggalan Jawa Lama Hari 1. Sura 30 2. Sapar 29 3. Mulud atau Rabingulawal 30 4. Bakda Mulud atau Rabingulakir 29 5. Jumadil awal 30 6. Jumadil akir 29 7. Rejeb 30 8. Ruwah Arwah, Saban 29 9. Pasa Puwasa, Siyam, Ramelan 30 10. Sawal 29 11. SΓ©la Dulkangidah, Apit* 30 12. Besar Dulkahijjah 29/30 Total 354/355 Nama-nama bulan tersebut adalah sebagai berikut. Warana β’ Sura, artinya rijal; Wadana β’ Sapar, artinya wiwit; Wijangga β’ Mulud, artinya kanda; Wiyana β’ Bakda Mulud, artinya ambuka; Widada β’ Jumadilawal, artinya wiwara; Widarpa β’ Jumadilakir, artinya rahsa; Wilapa β’ Rejeb, artiya purwa; Wahana β’ Ruwah, artinya dumadi; Wanana β’ Pasa, artinya madya; Wurana β’ Sawal, artinya wujud; Wujana β’ SΓ©la, artinya wusana; Wujala β’ Besar, artinya kothong. Keterangan Nama alternatif bulan Dulkangidah adalah Sela atau Apit. Nama-nama ini merupakan peninggalan nama-nama Jawa Kuno untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai Apit Lemah. SΓ©la berarti batu; yang berhubungan dengan lemah yang berarti adalah βtanahβ. Penampakan bulan dalam penanggalan Jawa sebagai berikut. Tanggal 1 bulan Jawa, bulan terlihat sangat kecil-hanya seperti garis, ini dimaknakan dengan seorang bayi yang baru lahir, yang lama-kelamaan menjadi lebih besar dan lebih terang; Tanggal 14 bulan Jawa dinamakan dengan purnama sidhi, bulan terlihat penuh melambangkan orang dewasa yang telah bersuami atau beristri; Tanggal 15 bulan Jawa dinamakan dengan purnama, bulan terlihat masih, penuh tetapi sudah ada tanda ukuran dan cahayanya sedikit berkurang; Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan dengan panglong, ini dimaknakan dengan seseorang yang sudah mulai kehilangan daya ingatannya; Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan dengan sumurup, ini dimaknakan dengan seseorang yang sudah mulai diurus hidupnya oleh orang lain atau kembali layaknya seorang bayi; Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan dengan manjing, ini dimaknakan dengan manusia kembali ke tempat asalnya lagi. Sisa hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat ketika manusia akan mulai dilahirkan kembali ke kehidupan dunia yang baru. Siklus Tahun dalam Penanggalan Jawa Satu tahun dalam kalender Jawa memiliki umur 354 3/8 hari. Untuk itulah, terdapat siklus delapan tahun yang disebut sebagai windu. Dalam satu windu terdapat delapan tahun yang masing-masing memiliki nama tersendiri, yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Tahun Ehe, Dal, dan Jimakir memiliki umur 355 hari dan dikenal sebagai tahun panjang Taun Wuntu, sedangkan sisanya 354 hari dikenal sebagai tahun pendek Taun Wastu. Pada tahun panjang tersebut, bulan Besar sebagai bulan terakhir memiliki umur 30 hari. Selain itu, terdapat siklus empat windu berumur 32 tahun, yaitu nama hari, pasaran, tanggal, dan bulan akan tepat berulang atau disebut tumbuk. Keempat windu dalam siklus itu diberi nama Kuntara, Sangara, Sancaya, dan Adi. Tiap windu tersebut memiliki lambang sendiri, yaitu Kulawu dan Langkir. Masing-masing lambang berumur delapan tahun, sehingga siklus total dari lambang berumur 16 tahun. Pun demikian, masih ada perbedaan perhitungan antara tahun Jawa dan tahun Hijriah. Tiap 120 tahun sekali, akan ada perbedaan satu hari dalam kedua sistem penanggalan tersebut. Inilah yang membuat pada saat itu tahun Jawa diberi tambahan satu hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup. Sampai awal abad 21, telah terdapat empat khurup, yaitu Khurup Jumuwah Legi/Amahgi 1555 Jβ1627 J/1633 Mβ1703 M, Khurup Kemis Kliwon/Amiswon 1627 Jβ1747 J/1703 Mβ1819 M, Khurup Rebo Wage/Aboge 1867 Jβ1987 J/1819 Mβ1963 M, dan Khurup Selasa Pon/Asapon 1867 Jβ1987 J/1936 Mβ2053 M. Nama khurup yang berlangsung mengacu kepada jatuhnya hari pada 1 bulan Sura tahun Alip. Pada Khurup Asapon, tanggal 1 bulan Sura tahun Alip akan selalu jatuh hari Selasa Pon selama kurun waktu 120 tahun. Wuku dan Neptu Terkait dengan penanggalan Jawa, dikenal pula periode waktu yang dianggap menentukan watak dari anak yang dilahirkan, seperti halnya astrologi yang terkait dengan kalender Masehi. Periode ini disebut Wuku dan ilmu perhitungannya disebut sebagai Pawukon. Terdapat 30 Wuku yang masing-masing memiliki umur 7 hari, sehingga satu siklus Wuku memiliki umur 210 hari yang disebut Dapur Wuku. Selain Wuku, terdapat juga Neptu yang digunakan untuk melihat nilai dari suatu hari. Ada dua macam Neptu, yaitu Neptu Dina dan Neptu Pasaran. Neptu Dina adalah angka yang digunakan untuk menandai nilai hari-hari dalam saptawara, sedangkan Neptu Pasaran digunakan untuk menandai nilai hari-hari dalam pancawara. Nilai-nilai ini digunakan untuk menghitung baik buruknya hari terkait kegiatan tertentu dan perwatakan seseorang yang lahir pada hari tersebut. Kalender Sultan Agungan yang dimulai pada Jumat Legi tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 J, atau 1 Muharram 1043 H, atau 8 Juli 1633. Peristiwa ini terdapat pada Windu Kuntara Lambang Kulawu dan ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Jemparingen Buta Galak Iku panahlah raksasa buas itu. Sejak saat itu, Kesultanan Mataram dan penerusnya mampu menyelenggarakan perayaan-perayaan adat seirama dengan hari-hari besar Islam. Upacara-upacara tradisi seperti Garebeg tidak menjadi halangan bagi perkembangan Islam, tetapi malah dimanfaatkan sebagai syiar agama itu sendiri. Sistem penanggalan baru ini merupakan upaya seorang pemimpin yang berpandangan jauh ke depan untuk menggabungan dua arus peradaban pada masa itu, sebuah rekonsilasi antara gelombang kebudayaan Islam dengan peradaban pra Islam. Peradaban baru yang kini dikenal sebagai Mataram Islam. Implementasi Kalender Jawa Saat ini, kalender Jawa digunakan untuk menentukan berbagai kegiatan penting, seperti kegiatan menentukan hari baik untuk pernikahan, kegiatan menentukan hari untuk khitanan, kegiatan untuk menentukan acara kematian, kegiatan menentukan pendirian rumah, dan juga kegiatan untuk menentukan hari baik untuk berpergian. Masyarakat umum, khususnya Jawa, beranggapan bahwa mereka harus menentukan hari baik terlebih dahulu untuk melaksanakan berbagai kegiatan, misalnya kegiatan pernikahan haruslah ditentukan terlebih dahulu hari baiknya agar calon pasangan yang akan menikah nantinya tidak akan memperoleh kejadian buruk, baik itu sebelum menikah atau setelah menikah. Masyarakat memandang bahwa kalender Jawa itu memiliki nilai kesakralan. Adapun ciri-ciri kesakralan itu adalah dihormati manusia, menimbulkan rasa takut, dijunjung tinggi, ditandai sifat ambigu, manfaatnya tidak dapat dinalar, memberikan adanya kekuatan, serta menekankan tuntunan dan kewajiban bagi para penganut dan pemujanya. Terkait dengan adanya kepercayaan dan juga keyakinan terhadap suatu hal di dalam kalender Jawa, semua itu tergantung dengan pandangan masing-masing individu masyarakat yang menilai. Kami selaku redaktur hanya dapat mengambil sisi positif dari adanya kalender Jawa Islam di dalam kehidupan yang sudah kotemporer ini. Berbagai tindakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat dalam menyirakan adanya kalender Jawa merupakan sebuah folkways kebiasaan terkait masalah-masalah di kehidupan sosial, sebuah mores tata kelakuan terkait kehidupan sosial, dan juga sebuah tradition adat. Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Asal-Usul, Siklus, dan Implementasi Sistem Penanggalan Jawa. Grameds juga dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di untuk memperoleh referensi tentang kebudayaan lainnya yang masih tetap dilestarikan di Indonesia. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca. Temukan hal menarik lainnya di Gramedia sebagai SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds. BACA JUGA Sejarah, Makna, Properti, dan Asal Tari Payung Sejarah, Makna, Properti, dan Asal Tari Seudati Sejarah Asal Tari Serimpi Perlawanan terhadap Penjajah Sejarah dan Asal Tari Kipas Pakarena Seni Tari Pengertian, Unsur-Unsur, Fungsi, dan Jenis Tari Saman Pengertian, Sejarah, dan Makna Gerakan ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
Kalenderjawa adalah kalender yang memadukan penanggalan islam, hindu dan sedikit julian. Kalender jawa online pada aplikasi ini menggunakan siklus pancawara, yakni siklus pekan yan terdiri dari lima hari pasaran, yaitu: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage.
- Kalender Jawa April 2023 bertepatan dengan bulan Pasa dan Sawal 1956. Bulan Pasa ini dikenal dalam Kalender Islam sebagai bulan Ramadhan, periode umat Islam melaksanakan puasa wajib. Sementara itu, Sawal atau Syawal merupakan bulan kemenangan atas ibadah yang sudah dilakukan sebulan 1 April 2023 bersamaan waktunya dengan 10 Pasa 1956, hari pasarannya adalah Sabtu Pahing dengan wuku Manahil. Sementara itu, Minggu 2/4 atau 11 Pasa 1956 berhari pasaran Pon sudah memasuki wuku baru yang disebut keterangan di atas, yang dimaksud hari pasaran adalah siklus hari dalam penanggalan Jawa. Di antaranya ada Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Sementara itu, laman STEKOM menjelaskan wuku sebagai siklus satu minggu yang namanya berbeda-beda dan digunakan dalam Kalender Jawa atau Kalender bulan Pasa ini akan berlangsung selama 29 hari hingga tanggal 20 April 2023. Setelah itu, sistem penanggalan Jawa akan masuk ke masa bulan Sawal 1956. Pada tanggal 1 dan 2 Syawal ini, umat beragama Islam akan memperingati Hari Raya Idul Fitri 1444 Indonesia mengenal perayaan ini sebagai Hari Lebaran Idul Fitri. Terdapat tradisi bernama Kupatan yang kerap diadakan pada hari tersebut atau beberapa waktu akan berkumpul bersama di sebuah tempat sambil membawa sejumlah makanan untuk dimakan bersama. Makna yang ada di balik tradisi ini berasal dari singkatan Kupat yang berarti Ngaku Lepat ini jika diterjemahkan mempunyai arti mengakui kesalahan. Hal ini seirama dengan Hari Raya Idul Fitri, yakni setiap orang saling memaafkan satu sama lain karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tak luput dari kesalahan. Kalender Jawa April 2023 Berikut ini kalender Jawa bulan April 2023 lengkap dengan hari pasaran dan wukunya. Tanggal Masehi Tanggal Jawa Hari Pasaran Wuku 1 April 2023 10 Pasa 1956 Sabtu Pahing Manahil 2 April 2023 11 Pasa 1956 Minggu Pon Prangbakat 3 April 2023 12 Pasa 1956 Senin Wage Prangbakat 4 April 2023 13 Pasa 1956 Selasa Kliwon Prangbakat 5 April 2023 14 Pasa 1956 Rabu Legi Prangbakat 6 April 2023 15 Pasa 1956 Kamis Pahing Prangbakat 7 April 2023 16 Pasa 1956 Jumat Pon Prangbakat 8 April 2023 17 Pasa 1956 Sabtu Wage Prangbakat 9 April 2023 18 Pasa 1956 Minggu Kliwon Bala 10 April 2023 19 Pasa 1956 Senin Legi Bala 11 April 2023 20 Pasa 1956 Selasa Pahing Bala 12 April 2023 21 Pasa 1956 Rabu Pon Bala 13 April 2023 22 Pasa 1956 Kamis Wage Bala 14 April 2023 23 Pasa 1956 Jumat Kliwon Bala 15 April 2023 24 Pasa 1956 Sabtu Legi Bala 16 April 2023 25 Pasa 1956 Minggu Pahing Wugu 17 April 2023 26 Pasa 1956 Senin Pon Wugu 18 April 2023 27 Pasa 1956 Selasa Wage Wugu 19 April 2023 28 Pasa 1956 Rabu Kliwon Wugu 20 April 2023 29 Pasa 1956 Kamis Legi Wugu 21 April 2023 1 Sawal 1956 Jumat Pahing Wugu 22 April 2023 2 Sawal 1956 Sabtu Pon Wugu 23 April 2023 3 Sawal 1956 Minggu Wage Wayang 24 April 2023 4 Sawal 1956 Senin Kliwon Wayang 25 April 2023 5 Sawal 1956 Selasa Legi Wayang 26 April 2023 6 Sawal 1956 Rabu Pahing Wayang 27 April 2023 7 Sawal 1956 Kamis Pon Wayang 28 April 2023 8 Sawal 1956 Jumat Wage Wayang 29 April 2023 9 Sawal 1956 Sabtu Kliwon Wayang 30 April 2023 10 Sawal 1956 Minggu Legi Kulawu Daftar Hari Besar Internasional April 2023 Kalender April. foto/istopchotoBerikut ini daftar hari besar skala internasional yang diperingati pada bulan April tahun ini. 2 April 2023 Hari Peduli Autisme Sedunia 2 April 2023 Hari Buku Anak Sedunia 3 April 2023 Hari Hewan Akuatik Sedunia 17 April 2023 Hari Hemophilia Sedunia 23 April 2023 Hari Buku Sedunia 25 April 2023 Hari Malaria Sedunia 26 April 2023 Hari Kekayaan Intelektual Sedunia 28 April 2023 Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Internasional 29 April 2023 Hari Tari Internasional Daftar Hari Besar Nasional April 2023Berikut ini daftar hari besar di Indonesia yang diperingati pada April 2023. 6 April 2023 Hari Nelayan Indonesia 9 April 2023 Hari TNI Angkatan Udara 15 April 2023 Hari Zeni 16 April 2023 Hari Komando Pasukan Khusus Kopassus 18 April 2023 Hari Peringatan Konferensi Asia-Afrika di Bandung 19 April 2023 Hari Pertahanan Sipil Hansip 20 April 2023 Hari Konsumen Nasional 21 April 2023 Hari Kartini 24 April 2023 Hari Angkutan Nasional 27 April 2023 Hari Pemasyarakatan Indonesia 28 April 2023 Hari Puisi Nasional. - Sosial Budaya Kontributor Yuda PrinadaPenulis Yuda PrinadaEditor Yulaika Ramadhani
Kalenderjawa digunakan untuk berbagai keperluan terutama untuk mencari weton kelahiran seseorang. Perbedaanya terletak pada 5 hari pasaran, dan tanggal jawa yang berbeda dengan tanggal pada kalender masehi. Pada artikel ini kami akan membagikan kepada anda Kalender Jawa 2023 Januari sampai Desember lengkap dengan tanggalan jawa.